[BTS Fan Fiction] Youth of Lily - Eighteenth Run
10:51 AM
EIGHTEENTH
RUN
Fall (everything) Fall (everything) Fall
(everything),
scattering apart
Fall (everything) Fall (everything) Fall (everything),
falling
scattering apart
Fall (everything) Fall (everything) Fall (everything),
falling
Kembali pada waktu di siang hari, di dalam ruang
kelas siswa kelas satu, di sana terdapat Taehyung yang menyelungkupi kepalanya
di antara lengan dan membaringkannya di atas meja. Dia telah melakukan hal
tersebut sejak pagi ini. Semua orang merasakan kejanggalan dengan perubahan
yang mendadak tersebut. Tidak biasanya mereka melihat Taehyung begitu diam. Dia
tidak menyapa semua orang dalam perjalanannya memasuki ruang kelas pagi tadi.
Dia bahkan tidak berbicara sedikit pun, bahkan ketika salah seorang teman
sekelasnya menanyakan apakah dia sakit. Dia hanya menempelkan kepala di atas
meja dan duduk dalam diam di samping Namjoon.
Namjoon juga telah mencoba berbicara dengan
Taehyung mengenai hal semalam namun pemuda tersebut tidak merespons
pertanyaannya. Namjoon tidak pernah menyangka bahwa insiden Jimin akan begitu
mempengaruhi pemuda tersebut hingga menjadi seperti ini. Dia telah mendengarnya
dari Jungkook. Taehyung merasa Jimin keluar dari grup tersebut adalah
kesalahannya. Karena idenya, Jimin harus kembali bertemu dengan ketakutan
lamanya.
Dan ... Jimin lagi-lagi tidak masuk sekolah. Dia
telah berhenti datang ke sekolah sejak tiga hari lalu. Namjoon mengira hal
tersebut memberikan dampak lebih kepada Taehyung.
“Berdiri!” Namjoon tidak lagi dapat membiarkan hal
berlangsung seperti ini lebih lama. Dia tahu bahwa dia harus melakukan sesuatu.
Taehyung dengan tidak bertenaga mengangkat kepala.
Namjoon mencengkeram lengan pemuda tersebut.
“Berdiri! Ayo lakukan sesuatu mengenai ini.”
“Aku baik-baik saja. Tidak perlu pulang ke rumah.”
Taehyung menepis tangan Namjoon dan hendak kembali membaringkan kepalanya namun
Namjoon bersikeras.
“Aku tidak sedang berbicara mengenai kau pulang ke
rumah. Ayo lakukan sesuatu mengenai Jimin.”
“Biarkan saja dia sendiri. Aku tidak lagi ingin
peduli mengenai hal apa pun.”
“Kau masih peduli mengenainya. Dia itu teman kita
dan dia sudah tidak hadir tiga hari. Aku tahu itu mengganggumu. Jadi, ayo temui
dia di rumah dan ajak dia bicara.”
“Sudah kubilang aku tidak ingin melakukan apa pun!
Bagian mana yang masih tidak kau mengerti?” Taehyung bangkit dan menendang
meja. Itu menyebabkan suara yang bising.
Semua orang di dalam kelas terkejut karenanya.
Mereka kini menatap ke arah Namjoon dan Taehyung namun tidak seorang pun dari
keduanya yang memedulikan berbagai pasang mata yang mengawasi mereka.
“Kau tidak tahu seberapa mampu aku melukai
seseorang. Aku melukai semua orang yang kupedulikan.” Mata Taehyung mulai
berair. “Aku seharusnya berhenti berurusan dengan siapa pun. Dengan begitu aku
tidak akan menyebabkan siapa pun terluka.”
“Semua orang akan terluka bagaimana pun.” Namjoon
menatap tajam ke dalam mata Taehyung. Dia memberi jeda sebelum kembali
mengatakan hal lain. “Tapi itu adalah pilihan mereka untuk membiarkan hal
tersebut mempengaruhi mereka atau tidak. Jika Jimin membiarkan masa lalunya
memiliki efek terhadapnya, itu bukanlah kesalahanmu.”
“Itu mudah saja untuk kau katakan! Kau kan tidak
punya rasa terikat pada orang-orang di sekitarmu. Kau tidak peduli pada orang
lain selain dirimu sendiri.”
“Siapa bilang aku tidak punya keterikatan pada
seseorang? Apa yang kau tahu mengenai hidupku?”
Bayangan dari Rahoon dan ibunya melintas ke dalam
benaknya. Namjoon bukanlah seseorang yang cuek atau pun tidak memiliki hati.
Dia tahu rasa sakit itu. Dia pun merasakan sakit. Dia tidaklah tak terpengaruhi
setiap saat. Sesekali Namjoon pun pernah sangat-sangat membenci dirinya
sendiri. Dia membenci bahwa dia tidak dapat melakukan sesuatu mengenai dunia.
Dia membenci kontradiksi yang ada di dunia ini. Hidup itu semacam kontradiksi.
Ketika kita melihat sesuatu dari satu sisi saja, kau bisa saja menjadi salah
untuk sisi lainnya.
“Kita tidak akan pernah bisa menyelamatkan semua
orang meskipun kita berharap tidak ada seorang pun yang dibiarkan menderita
sendiri.” Namjoon mengeratkan tinjunya untuk menahan perasaan yang mulai
menyeruak. Dia memutuskan untuk menyingkirkan pemikiran buruk tersebut dan
sekali lagi memegangi lengan Taehyung. “Tapi kita setidaknya bisa berusaha yang
terbaik ketika menghadapinya. Jadi sekarang tutup mulut dan ikut aku ke rumah
Jimin! Tapi kita harus mendapat izin pulang awal lebih dulu. Wajah pucatmu bisa
jadi alasan.”
Kali ini Namjoon menyeret Taehyung dengan kekuatan
lebih besar. Dia tidak membiarkan pemuda tersebut kabur. Dalam perjalanan
menuju ruang guru, mereka berpapasan dengan Yoongi yang kebetulan sedang
berdiri di depan ruang kelas satu. Namun mereka tidak berhenti untuk berbicara
pada pemuda yang lebih tua tersebut maupun untuk mengajaknya bergabung pergi ke
rumah Jimin.
☆☆☆☆☆☆☆
Ini sudah ke sekian hari dalam pencariannya. Dia
bahkan bolos sekolah hari ini hanya karena seseorang mengatakan padanya bahwa
mereka melihat ayahnya berada di luar Seoul. Namun ternyata, informasi tersebut
tidaklah benar. Ayahnya masih belum dapat ditemukan di mana pun.
Hoseok sekali lagi menghela napas sambil berjalan
menyusuri sisi jembatan. Di mana dia seharusnya menemukan ayahnya? Bagaimana
hal ini awalnya bermula?
Benar juga, itu dimulai pada hari itu, saat liburan
singkat. Kalau saja ... kalau saja dia tidak ikut serta dalam liburan itu. Jika
saja dia tidak bersikap egois menginginkan waktu untuk diri sendiri tanpa masalah
keluarganya. Jika saja dia tidak mengabaikan panggilan telepon adik
perempuannya yang menginginkannya segera pulang. Mungkin saja dia bisa menahan
ayahnya kabur dari rumah. Mungkin saja dengan begitu dia dapat melindungi
neneknya dari kejutan tersebut.
Pandangan mata Hoseok mulai mengabur oleh air mata
yang menggenang. Rasa bersalah memenuhi dirinya. Perasaan tersebut membuncah
tinggi di dalam dadanya. Itu mencekiknya. Rasanya sulit untuknya menarik napas.
Matahari bersinar begitu terik di atas kepala. Membakarnya. Bahkan kini
penglihatannya pun mulai mengkhianatinya. Pemandangan di depan matanya mulai
bergerak-gerak hingga tak berbentuk lagi. Berputar-putar. Kakinya pun mulai
kehilangan keseimbangan. Hoseok dapat merasakan tubuhnya mulai mengayun ke
samping hingga membentuk sudut 45 derajat selagi dia berjalan. Mungkin seluruh
kegilaan ini mulai menunjukkan pengaruh terhadap dirinya. Dia tidak dapat
menahan dirinya lagi. Dia telah kalah.
Mengapa
waktu itu dia melakukan hal itu?
☆☆☆☆☆☆☆
“Kau tahu di mana Howon?”
Suara yang familier memasuki indra pendengaran
Jungkook, suara Hara. Itu membuat pemuda tersebut mendongak dari buku yang
sedang dia pelajari. Dari tempat duduknya, dia dapat melihat Hara sedang
bertanya pada beberapa teman sekelas Jungkook mengenai keberadaan Howon. Dia
terlihat panik namun semua orang yang dia tanyai menggelengkan kepala dan
mengatakan mereka tidak tahu.
Jungkook memutuskan untuk mendekati gadis itu. “Apa
yang terjadi?”
“Jungkook, apa kau melihat saudaraku?” Hara segera
menanyainya dengan pertanyaan yang sama.
“Aku melihatnya tadi, hendak pergi ke GOR indoor.”
Hara membalik tubuhnya dengan cepat namun sebelum
dia bisa meninggalkan tempat tersebut, Jungkook menahannya untuk bertanya
sekali lagi, alasannya terlihat begitu panik. Jungkook mendapatkan firasat
tidak menyenangkan mengenainya.
“Kakakku, Hoseok Oppa, Oppa ....”
“Apa yang terjadi padanya?” Mata Jungkook bergerak
cepat ketika nama tersebut disebut.
“Aku- ....” Hara terlihat sangat kacau.
“Ayo cari Howon terlebih dahulu.” Jungkook tahu itu
bukan saatnya mencari tahu. Mereka harus menemukan saudara kembar Hara terlebih
dahulu.
“Oppa
masuk rumah sakit karena overdosis anxiety
pills. Dia ditemukan pingsan di jalan. Aku tidak pernah tahu kalau Hoseok Oppa mengonsumsi obat-obatan. Aku-.”
Hara menjelaskan selagi mereka berlari ke arah GOR indoor
untuk mencari Howon. Gadis itu terlihat akan segera menangis, begitu pula
dengan Jungkook ketika dia mendengar informasi tersebut.
Hoseok
mengalami overdosis.
Jungkook merasakan jantung hatinya jatuh ke tanah
dalam sekejap.
“Apa yang sesungguhnya terjadi di dalam keluargamu?
Hoseok Hyung sudah bersikap janggal
sejak kami kembali dari liburan. Ah tidak, dia sudah aneh sejak saat liburan.
Apa sesuatu sudah terjadi?”
“Ayah kami ditipu oleh temannya hingga berhutang
banyak. Orang itu kabur dengan uang tersebut dan mengirimkan beberapa lintah
darat ke rumah kami. Mereka mau mengambil alih rumah kami. Appa mencoba menangkap temannya karena itu Appa meninggalkan rumah. Halmoni
mendapatkan kejutan bertubi-tubi dari semua hal ini hingga pingsan. Hingga saat
ini Halmoni masih belum sadar. Dokter
bilang mustahil untuknya kembali tersadar. Apa yang harus kulakukan? Apakah
Hoseok Oppa akan menjadi seperti Halmoni? Aku tidak ingin kehilangan Oppa juga. Apa kau bisa melakukan
sesuatu? Tolong bantu kakakku, Jungkook. Dia paling terlihat bahagia ketika
bersama BTS. Itu adalah satu-satunya saat dia terlihat seperti dirinya sendiri.
Oppa mengonsumsi obat-obatan untuk
kabur dari masalahnya di rumah. Keluarga kami adalah masalahnya.”
“Hara! Berhenti berpikir berlebihan!” Jungkook
menahan langkah kakinya dan menahan Hara pula. Dia mencengkeram pundak gadis
itu untuk menenangkannya. “Dengar, Hoseok Hyung
menjaga kalian semua karena Hyung memang
peduli. Jika sesuatu yang buruk terjadi pada salah satu dari kalian, Hyung akan merasa jauh lebih buruk
daripada kabur dari kalian semua. Kalian bukanlah sebuah beban. Kalian adalah
keluarganya.”
“Keluarga macam apa kami ini ....” Air mata Hara
mengalir turun. Dia mulai terisak keras.
Jungkook tidak pernah berada di dalam situasi
semacam ini. Dia tidak tahu bagaimana cara untuk menenangkan seorang gadis yang
menangis. Apakah dia harus memeluknya? Atau membiarkannya menangis? Atau
mengusap air matanya dan membawanya kepada saudara laki-lakinya? Jungkook
memutuskan untuk melakukan pilihan pertama namun sebelum dia dapat
melakukannya, seseorang menariknya ke belakang.
“Apa yang kau lakukan pada Hara?” Itu adalah Howon
dan tinjunya melayang ke arah rahang Jungkook segera setelah dia menarik pemuda
tersebut menjauhi Hara.
“Howon!” Hara berseru kencang ketika dia melihat
apa yang Howon lakukan. Dia segera menempatkan diri di tengah kedua pemuda
tersebut untuk menghentikan Howon menghajar Jungkook lagi. “Jangan pukul dia! Dia
tidak melakukan hal buruk padaku! Dia hanya sedang menenangkanku.”
“Mengapa dia harus menenangkanmu? Dan mengapa kau
menangis?”
“Ini bukan saatnya untuk berbicara. Hoseok Hyung masuk rumah sakit. Kita harus ke
sana segera.” Jungkook berdiri untuk menghentikan percakapan tersebut sambil
mengusap sudut bibirnya untuk mengecek apakah berdarah. “Ugh, tidak lagi. Kau
harus belajar untuk menganalisis situasi terlebih dahulu sebelum menghajar
seseorang. Ini sakit sekali.”
“Apa?” Mata Howon membelalak.
☆☆☆☆☆☆☆
“Jimin a,
Park Jimin! Apa kau di rumah?”
Namjoon dan Taehyung berdiri di depan rumah Jimin.
Mereka telah berusaha memanggil pemuda tersebut keluar untuk beberapa menit.
Mereka mencoba menekan bel, mengetuk pintu. Namun tidak ada respons.
“Hentikan itu. Mungkin tidak ada orang di dalam
apartemen. Kita kembali saja.” Taehyung menahan Namjoon yang ingin meraih kenop
pintu.
“Dia pasti di rumah. Dia kan sudah absen tiga hari.
Mungkin saja dia sakit dan tidak bisa bangun.”
“Kalau begitu ibunya pasti ada di rumah. Ayo kita
pulang saja. Kau sudah mengganggu tetangganya.”
“Tidak, kita harus berbicara dengan Jimin hari ini.
Kita harus menyelesaikan masalah ini.”
“Ada apa denganmu hari ini? Ngapain kamu begitu
peduli? Ini tidak seperti kau yang biasanya.” Taehyung menjadi kesal.
“Begitu pula denganmu. Ke mana Taehyung yang
biasanya? Dia pasti akan mengkhawatirkan temannya yang sudah menghilang tiga
hari.”
“Dia sudah mati.”
Namjoon mendecap lidah dengan kesal. Dia lebih
menyukai Taehyung yang berisik daripada pemuda yang terlalu sensitif di
depannya ini. Dia nyaris merasa muak dengan drama yang dibuat oleh Taehyung.
Hal yang paling Namjoon inginkan saat ini hanyalah untuk membuat Jimin dan
Taehyung bertemu dan saling berbicara terhadap satu sama lain. Dia ingin
Taehyung terbebas dari rasa bersalahnya. Dia ingin Jimin keluar dari
cangkangnya.
“Apa yang kalian lakukan di depan pintu apartemen
ini, Haksaeng?”
Seorang wanita paruh baya muncul dari apartemen
sebelah.
“Kami datang untuk bertemu dengan teman kami, Park
Jimin, yang tinggal di sini. Apa Anda tahu dia ada di rumah atau tidak, Ajumma?”
“Ah, Jimin, dia sedang sakit. Ibunya memintaku
untuk menjaganya karena keluarganya harus keluar kota semalam. Sebentar, aku
akan membukakan pintu untuk kalian.”
Namjoon dan Taehyung menyingkir dari depan pintu.
Wanita itu menarik keluar kunci pintu dari sakunya dan segera membukakan pintu.
Tempat tersebut terasa begitu janggal dengan ketenangan yang tidak biasa. Seperti
tidak ada penghuni yang menempatinya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan.
“Jimin mungkin masih tertidur di kamarnya. Tadi
pagi dia minum obat setelah sarapan.”
Wanita itu menunjukkan jalan menuju kamar Jimin.
Namjoon mendapatkan perasaan tidak menyenangkan mengenai hal ini. Dia dapat
merasakan isi perutnya melilit karena gugup. Sementara Taehyung, dia terlihat
seperti seorang tahanan yang sedang berjalan menuju penghakimannya. Dia
terlihat sangat ingin kabur dari tempat tersebut.
“Oh! Dia tidak ada di sini.” Wanita itu pun
terkejut ketika dia tidak dapat menemukan Jimin di dalam kamar. “Apa dia sudah
bangun?”
Samar-samar Namjoon mendengar suara air mengalir.
“Mungkin dia ada di kamar mandi.”
Wanita tersebut mulai berjalan menuju arah kamar
mandi diikuti oleh Namjoon dan Taehyung. Dia mengetuk pintu dua kali dan
memanggil Jimin, namun tidak ada jawaban.
“Mungkin dia keluar dan lupa mematikan keran air.
Sebentar aku harus mematikan keran air terlebih dahulu.” Wanita itu membuka
pintu.
BRAK!
Sekejap teriakan keras dari wanita itu terdengar.
Sebuah pemandangan mengerikan tersaji di hadapannya.
☆☆☆☆☆☆☆
Author's Note:
By the way, maaf ya karena minggu kemarin aku nggak ngepost update-an. Itu karena aku sedang berusaha menyelesaikan terjemahan Youth of Lily secepatnya. Dan karena terjemahannya sudah selesai, aku akan posting chapter terbaru dengan lebih cepat. Kalau kalian menyukai cerita ini, boleh loh tinggalin jejak dengan berkomentar. Siapa tahu aku jadi lebih semangat buat ngepost lanjutannya segera. :)
Author's Note:
By the way, maaf ya karena minggu kemarin aku nggak ngepost update-an. Itu karena aku sedang berusaha menyelesaikan terjemahan Youth of Lily secepatnya. Dan karena terjemahannya sudah selesai, aku akan posting chapter terbaru dengan lebih cepat. Kalau kalian menyukai cerita ini, boleh loh tinggalin jejak dengan berkomentar. Siapa tahu aku jadi lebih semangat buat ngepost lanjutannya segera. :)
0 comments