NOTE:
Seperti yang sebelum-sebelumnya. Ini adalah terjemahan pribadiku. Bagi yang ingin membagikan terjemahan ini, silakan bagikan HANYA LINK BLOG INI saja. Jangan bagikan teks terjemahanku. Mohon hargai usaha seseorang yang sudah ingin berbagi. Semoga kejadian Demian dan The Ones who Walk Away from Omelas tidak kembali terulang. Terima kasih atas dukungan kalian selama ini.
Untuk info lebih lanjut soal buku ini, silakan cek postingan INI
PS: terjemahan di bawah ini masih terjemahan kasar. :)
PS: terjemahan di bawah ini masih terjemahan kasar. :)
PENGANTAR:
HAL-HAL INDAH
Ada suatu suara khas yang ditimbulkan oleh pisau
bedah ketika benda tersebut mengoyak sebuah tengkorak—seperti sebuah Velcro
berukuran besar dikoyak dari perekatnya. Suara tersebut keras dan penuh amarah
juga sedikit sedih. Sekolah kedokteran tidak punya kelas yang mengajarimu suara
dan aroma dari operasi otak. Mereka seharusnya melakukannya. Dengung mesin bor
berat selagi benda tersebut menembus tengkorak. Gergaji tulang yang memenuhi
ruang operasi dengan aroma serbuk gergaji panas sewaktu benda tersebut mengukir
sebuah garis menghubungkan lubang burr yang dibuat oleh bor. Suara letupan
enggan terdengar ketika tengkorak diangkat dari dura, kantung tebal yang
melapisi otak dan berfungsi sebagai pertahanan terakhir terhadap dunia luar. Gunting
perlahan membelah melalui dura. Ketika otak terekspos kau dapat melihatnya
bergerak seirama dengan setiap denyut jantung, dan sesekali rasanya kau pun
dapat mendengarnya mengerang protes karena ketelanjangan dan
ketidakberdayaannya—rahasianya terbongkar di hadapan semua orang di bawah sinar
terang dari ruang operasi.
Sang bocah laki-laki terlihat kecil dalam gaun rumah sakit dan nyaris tenggelam
dalam ranjang ketika ia menanti untuk memasuki proses operasi.
“Nanaku berdoa untukku. Dan ia juga berdoa untukmu.”
Aku mendengar ibu bocah tersebut menghela napas dengan keras karena
informasi ini, dan aku tahu ia sedang memberanikan diri demi anak laki-lakinya.
Demi dirinya sendiri. Bahkan mungkin untukku. Aku mengusap rambut bocah
tersebut. Rambutnya cokelat dan panjang dan indah—lebih mirip bayi daripada
bocah. Ia bercerita bahwa dirinya baru saja berulang tahun.
“Kau mau aku menjelaskan lagi apa yang akan terjadi hari ini, Juara, atau
kau sudah siap?” Ia menyukainya ketika aku memanggilnya Juara atau Kawan.
“Aku akan tertidur. Kau akan mengeluarkan Benda Jelek dari kepalaku supaya
tidak terasa sakit lagi. Kemudian aku melihat mama dan nanaku.”
“Benda Jelek” tersebut adalah sebuah medulloblastoma, tumor otak ganas yang
paling umum terjadi pada anak-anak, dan itu terletak di dalam fossa posterior
(dasar tengkorak). Medulloblastoma
bukanlah sebuah kata yang mudah diucapkan orang dewasa, terlebih lagi oleh
seorang anak usia empat tahun, tidak peduli seberapa dewasa sebelum waktunya
ia. Tumor otak anak sungguh adalah benda yang jelek, jadi AKU TIDAK MASALAH
dengan istilah tersebut. Medulloblastoma merupakan penyusup cacat dan sering
kali berbentuk aneh dalam keindahan simetris otak. Tumor tersebut awalnya
muncul di antara dua lobus cerebellum dan tumbuh, akhirnya tidak hanya menekan
cerebellum akan tetapi juga batang otak hingga menghalangi jalan sirkulasi
cairan menuju otak. Otak merupakan salah satu dari hal terindah yang pernah
kulihat, dan untuk mengeksplorasi misterinya dan mencari jalan untuk
menyembuhkannya merupakan hak istimewa yang tidak akan pernah kuanggap enteng.
“Kau sepertinya sudah siap. Aku akan mengenakan masker pahlawan superku dan
menemuimu di ruang terang.”
Ia tersenyum padaku. Masker dan ruang operasi dapat menjadi menakutkan.
Hari ini aku menyebutnya masker pahlawan super dan ruangan-ruangan terang agar
ia tidak begitu ketakutan. Pikiran adalah hal yang lucu tapi aku tidak akan
menjelaskan semantik kepada anak empat tahun. Beberapa pasien dan orang-orang paling
bijaksana yang pernah kutemui adalah anak-anak. Hati seorang anak terbuka
lebar. Anak-anak akan memberitahumu hal yang membuat mereka takut, hal yang
membuat mereka senang, dan hal yang mereka sukai mengenaimu dan yang tidak.
Tidak ada agenda tersembunyi, dan kau tidak pernah harus menebak-nebak apa yang
sungguh-sungguh mereka rasakan.
Aku berpaling ke arah ibu dan neneknya. “Seseorang dari tim akan
memberitahu kalian selagi kami bekerja. Saya memperkirakan operasi ini akan menjadi
pengangkatan total. Tidak ada komplikasi.” Ini bukan hanya ucapan dokter bedah
untuk memberitahu mereka hal yang ingin mereka dengar saja—rencanaku adalah
melakukan sebuah operasi bersih dan efisien untuk mengangkat seluruh tumor setelah
itu mengirim sebuah potongan kecil ke laboratorium untuk mengamati betapa
jeleknya Benda Jelek ini.
Aku tahu baik Ibu maupun Nenek, keduanya takut. Aku menggenggam
masing-masing tangan mereka bergantian, mencoba meyakinkan dan menenangkan
mereka. Tidak pernah mudah. Sakit kepala di pagi hari seorang anak laki-laki
menjadi mimpi buruk setiap orang tua. Sang Ibu mempercayaiku. Sang Nenek
mempercayai Tuhan. Aku mempercayai timku.
Bersama, kami akan mencoba menyelamatkan nyawa anak laki-laki ini.
***
SETELAH dokter anestesi menghitung mundur untuk membuatnya tertidur, aku
meletakkan kepala anak laki-laki tersebut dalam bingkai kepala yang melekat pada
tengkoraknya, kemudian memosisikannya tengkurap. Mengeluarkan pencukur rambut.
Meskipun biasanya perawatlah yang mempersiapkan tempat operasi, aku lebih suka
mencukur rambut sendiri. Ini adalah sebuah ritual yang kulakukan. Dan selagi
aku perlahan menggunduli kepala tersebut, aku memikirkan mengenai bocah kecil
berharga ini dan mengingat kembali setiap detail operasi dalam benakku. Aku
menggunting potongan pertama rambut dan menyerahkan pada sirkulator untuk
meletakkannya dalam kantong kecil bagi ibu sang anak. Ini adalah potongan
rambut pertamanya, dan meski sementara hal itu akan menjadi hal terakhir yang
terpikir oleh ibunya saat ini, aku tahu ini akan penting baginya nanti. Ini
adalah kejadian penting yang ingin kau ingat. Potongan rambut pertama.
Kehilangan gigi pertama. Hari pertama sekolah. Pertama kali mengendarai sepeda.
Operasi otak pertama tidak pernah ada dalam daftar ini.
Dengan lembut kupotong rambut tipis cokelat muda tersebut, berharap bahwa
pasien mudaku ini dapat merasakan setiap hal pertama ini. Dalam benakku aku
dapat melihatnya tersenyum dengan lubang besar di tempat gigi depannya
seharusnya berada. Aku melihatnya berjalan menuju taman kanak-kanak dengan tas punggung yang nyaris sebesar
dirinya tersampir di salah satu bahu. Aku melihatnya mengendarai sepeda untuk
pertama kalinya—sensasi kebebasan pertama, mengayuh lekas-lekas dengan angin
mengembuskan rambutnya. Aku memikirkan anakku sendiri selagi aku lanjut
memotong rambutnya. Gambaran dan kejadian dari semua kali pertamanya begitu
jelas dalam benakku hingga aku tidak dapat membayangkan hasil lainnya. Aku
tidak ingin melihat kunjungan rumah sakit di masa depan dan perawatan kanker
dan operasi-operasi tambahan. Sebagai seorang penyintas kanker otak
kanak-kanak, ia akan selalu harus dimonitor tapi aku menolak untuk melihatnya
di masa depan sebagai dirinya di masa lalu. Rasa mual dan muntah. Jatuh. Bangun
di jam-jam subuh, berteriak memanggil ibunya karena Benda Jelek ini menekan
otaknya dan terasa menyakitkan. Sudah cukup banyak patah hati dalam kehidupan
tanpa harus menambahkan ini ke dalamnya. Aku lanjut memotong rambutnya dengan
lembut hanya sesuai yang kuperlukan untuk melakukan pekerjaanku. Aku membuat dua
titik di dasar tengkoraknya tempat kami akan membuat irisan dan menarik sebuah
garis lurus.
Operasi otak itu sulit, akan tetapi operasi di fossa posterior bahkan lebih
sulit dan melakukannya pada anak kecil luar biasa menyulitkan. Tumor ini besar
dan pekerjaan berlangsung sangat lambat dan tepat sasaran. Mata memandang
melalui mikroskop selama berjam-jam memusatkan perhatian pada satu hal. Sebagai
dokter bedah kami dilatih untuk meniadakan respons badaniah kami selagi
melakukan operasi. Kami tidak mengambil jeda untuk ke kamar mandi. Kami tidak
makan. Kami telah dilatih untuk abai ketika punggung kami sakit atau otot-otot
kami keram. Aku ingat saat pertama kali berada di ruang operasi membantu
seorang dokter bedah populer yang terkenal bukan hanya sebagai seorang yang
luar biasa tapi juga sebagai seorang primadona yang agresif dan arogan ketika
mengoperasi. Aku merasa terintimidasi dan gugup, dan ketika berdiri di
sampingnya dalam ruang operasi, keringat mulai menuruni wajahku. Aku bernapas
dengan berat di maskerku dan kacamataku mulai berembun. Aku tidak dapat melihat
alat-alat atau bahkan area operasi. Aku telah bekerja keras, melampaui begitu
banyak, dan kini di sinilah diriku, melakukan operasi persis seperti yang
selalu kubayangkan, tapi aku tidak dapat melihat apa pun. Kemudian hal tak
terbayangkan terjadi. Sebulir keringat besar mengalir di wajahku dan jatuh ke
area steril. Dokter tersebut murka. Hari itu seharusnya menjadi peristiwa
penting dalam kehidupanku, kali pertamaku dalam melakukan operasi, tapi
sebaliknya aku malah mengontaminasi area operasi dan singkatnya ditendang
keluar dari ruang operasi. Aku tidak pernah melupakan pengalaman tersebut.
Hari ini dahiku kering dan pandangan mataku jelas. Detak jantungku pelan
dan teratur. Pengalaman membuat perbedaan, dan dalam ruang operasiku aku
bukanlah sang diktator. Bukan pula primadona agresif. Setiap anggota tim
berharga dan diperlukan. Semua orang fokus pada bagian mereka. Dokter anestesi
mengawasi tekanan darah dan kadar oksigen sang anak, level kesadaran, dan irama
denyut jantung. Perawat operasi selalu memerhatikan alat-alat dan suplai,
memastikan semua yang kuperlukan dalam jangkauan. Sebuah kantong besar
disampirkan pada gantungan dan ditaruh di bawah kepala sang anak, menampung
darah dan cairan irigasi. Kantong tersebut disambungkan dengan sebuah pipa yang
terkoneksi pada sebuah mesin penyedot besar dan terus-terusan mengukur cairan
tersebut supaya kami tahu seberapa banyak darah yang telah berkurang pada saat
itu juga.
Dokter bedah yang membantuku adalah residen senior dalam pelatihan dan baru
dalam tim ini, tapi ia seperti diriku memusatkan pikiran pada pembuluh darah
dan jaringan tisu otak, dan teliti dalam menyingkirkan tumor ini. Kami tidak
dapat memikirkan rencana kami untuk keesokan hari, atau politik rumah sakit,
atau anak-anak kami, atau masalah hubungan kami di rumah. Ini adalah bentuk
kewaspadaan tingkat tinggi, sebuah konsentrasi terpusat pada satu titik yang
nyaris seperti meditasi. Kami melatih pikiran, dan pikiran melatih tubuh. Ada
ritme dan aliran luar biasa ketika kau memiliki sebuah tim yang baik—semua
orang selaras. Tubuh dan pikiran kita bekerja bersama seakan dikendalikan oleh
satu pusat.
Aku menyingkirkan potongan tumor terakhir yang melekat pada salah satu
pembuluh darah balik utama jauh di dalam otak. Sistem vena di fossa posterior sangatlah
kompleks, dan asistenku sedang menyedot cairan selagi aku dengan hati-hati
mengangkat sisa terakhir tumor. Ia membiarkan perhatiannya berkeliaran untuk
sesaat, dan pada detik tersebut penyedotnya merobek pembuluh darah, dan untuk
waktu yang sangat singkat segalanya terhenti.
Kemudian pintu neraka pun terbuka.
Darah dari pembuluh yang robek memenuhi rongga bekas pengangkatan, dan
darah mulai mengalir keluar dari kepala anak laki-laki indah ini. Dokter
anestesi mulai berseru bahwa tekanan darah sang anak menurun drastis dan ia
tidak akan bisa bertahan dari kehilangan darah. Aku harus menjepit pembuluh darah
tersebut dan menghentikan perdarahan, tapi pembuluh tersebut terjatuh ke dalam
kolam darah dan aku tak dapat melihatnya. Penyedotanku sendiri tidak dapat
mengontrol perdarahan dan tangan asistenku yang bergetar keras tidak membantu
banyak.
“Ia mengalami henti jantung!” seru dokter anestesi. Ia harus berjuang dari
bawah meja karena kepala anak laki-laki ini terkunci dalam bingkai kepala,
telungkup, dengan belakang kepala terbuka. Dokter anestesi mulai menekan dada
anak tersebut sementara tangan lainnya di punggungnya, dengan putus asa mencoba
membuat jantung anak tersebut kembali berdenyut. Cairan mulai mengalir deras
memasuki selang infus besar. Tugas pertama dan terpenting jantung adalah
memompa darah, dan pompa magis ini yang membuat segala yang ada dalam tubuh
mungkin telah berhenti. Anak berusia empat tahun ini mengalami perdarahan
kritis di meja di hadapanku. Selagi dokter anestesi memompa dada anak tersebut,
area luka terus dipenuhi darah. Kami harus menghentikan perdarahan atau ia akan
mati. Otak mengonsumsi 15 persen dari aliran keluar dari jantung dan hanya
dapat bertahan beberapa menit setelah jantung berhenti. Organ tersebut butuh
darah, dan yang paling penting, oksigen dalam darah. Kami kehabisan waktu
sebelum otak mati—mereka membutuhkan satu sama lain—otak dan jantung.
Dengan tergesa-gesa aku berusaha menjepit pembuluh darah akan tetapi tidak
ada cara untuk menemukan pembuluh tersebut di antara genangan darah ini.
Meskipun kepalanya terpaku di posisi, tekanan jantung bergerak sangat pelan.
Baik tim maupun diriku mengetahui bahwa kami kehabisan waktu. Dokter anestesi
mendongak ke arahku dan aku melihat ketakutan di matanya... Kami mungkin akan
kehilangan anak ini. Cardiopulmonary
Resuscitation (CPR) adalah semacam mencoba mengopling sebuah mobil di gigi
dua—sangat tidak dapat diandalkan, terutama ketika kami terus kehilangan darah.
Aku bekerja tanpa melihat, jadi aku membuka hatiku untuk kemungkinan melampaui
alasan, melampaui kemampuan, dan aku mulai melakukan hal yang diajarkan padaku
beberapa dekade lalu, bukan di residensi, bukan pula di sekolah kedokteran,
melainkan di ruang belakang dari sebuah toko sulap kecil di padang gurun California.
Aku menenangkan pikiranku.
Aku melemaskan tubuhku.
Aku membayangkan pembuluh darah yang tenggelam tersebut. Aku melihatnya
dengan mata pikiranku, membungkuk ke arah jalur pembuluh darah otak anak
laki-laki kecil ini. Aku menggapai dalam kebutaan tapi tahu bahwa ada lebih
banyak hal untuk kehidupan ini, lebih daripada yang dapat kita lihat, dan bahwa
setiap dari kita mampu melakukan hal luar biasa jauh melampaui hal yang kita
pikir mungkin. Kita mengontrol takdir kita sendiri, dan aku tidak terima jika
anak empat tahun ini ditakdirkan mati hari ini di meja operasi.
Aku menggapai turun ke dalam kolam darah dengan jepit terbuka, menutupnya,
dan perlahan menarik tanganku.
Perdarahan berhenti, dan kemudian, seakan datang dari kejauhan, aku
mendengar suara pelan dari monitor jantung. Suara tersebut samar awalnya. Tidak
teratur. Namun segera suara tersebut menguat dan semakin teratur, seperti semua
jantung lakukan ketika organ tersebut mulai hidup.
Aku merasakan detak jantungku mulai selaras dengan ritme di monitor.
Selanjutnya, setelah operasi, aku akan menyerahkan sisa dari potongan
rambut pertamanya pada ibunya, dan kawan kecilku ini pulih dari bius sebagai
penyintas. Ia akan sepenuhnya normal. Dalam empat puluh delapan jam ke depan, ia
akan berbicara bahkan tertawa, dan aku dapat mengatakan padanya bahwa Benda
Jelek tersebut telah pergi.
A/N:
Bab selanjutnya akan kuposting besok, kalau view postingan ini mencapai 1500. Silakan bagikan postingan ini. Hehehe.
Mohon komen ya kalau sudah membaca.
Sedikit soal buku ini. Kalau kalian mengikuti IGku (decdaisy91), mungkin sempat intip storyku. Beberapa kali aku sempat membagikan proses penerjemahan buku ini. Apa ya... hmm... kalau dibandingkan dengan dua buku sebelumnya, buku kali ini agak berbeda.
Pertama-tama ini bukan novel. Meskipun bentuknya kayak novel ya, ada narasi dan dialognya. Tapi, sebenarnya buku ini adalah semacam biografi dari seorang ahli bedah saraf bernama James Doty.
Yang kedua, kalau sebelumnya saat membaca Demian, kita dibawa untuk mengenali proses menyakitkan dari tumbuh kembang, keluar kukungan dunia masa kecil, sedang ketika membaca Omelas, topik serupa masih ada, hanya saja terdapat bumbu 'rebel' dan paradoks dunia, dan dalam buku ini, masih sama memiliki tema yang serupa dengan sebelumnya. Yang berbeda adalah cerita yang terjadi dalam buku ini nyata. Ini benar-benar terjadi pada masanya. Sosok dalam buku ini pun nyata. Dan kalau di buku sebelumnya kita hanya ditunjukkan rasa sakitnya, dalam buku ini aku merasa seperti kita dibantu untuk mengatasi rasa sakit itu.
Semua orang pasti mengalami rasa sakit ketika harus berpisah dari masa kecil. Banyak hal-hal yang awalnya kita percayai semakin menghilang. Banyak perubahan yang terjadi. Banyak perkembangan dan juga kesalahan.
Buku ini mengajarkan kita, bagaimana kita bisa memaafkan kesalahan di masa lalu, bagaimana kita menggapai mimpi bahkan dalam situasi yang paling tidak menguntungkan, bagaimana kuatnya kekuatan belas kasih untuk mengubah dunia. *jadi inget campaign Love Yourself.*
Beberapa kali saat membaca buku ini, jujur saja aku sempat sangat terharu. Padahal, aku tuh paling menghindari buku-buku panduan (how to win a friends dsb) gitu.. karena kupikir it's not applicable in my situation. Agak skeptis juga saat memulai menerjemahkan buku ini awalnya. Apakah dia akan jadi seperti buku-buku seperti itu? Tapi ternyata nggak. Mungkin lebih tepatnya buku ini mirip dengan buku "A man Called Dave" series, dengan beberapa panduan. At last, I'm kinda glad that I managed to finish translating this book. It's a meaningful book, I can guarantee you this. Worth for reading.
Bagi yang penasaran dengan cerita selanjutnya, silakan ikut PRE-ORDER Into the Magic Shop. Sudah dibuka sampai tanggal 14 Juli 2018.
Tebal: menyusul (sekitar 400 halaman)
ISBN: menyusul
Penerbit: Mata Aksara
Penerjemah: December Daisy
Penulis: James R. Doty, MD
Genre: Memoar
Sinopsis:
Hal-hal luar biasa dimulai ketika kita memanfaatkan kekuatan gabungan antara otak dan hati
Terdapat dua hal yang paling mencolok dari buku ini: Belas Kasih dan Kebaikan. Di antara semua hal lainnya, buku ini mengeksplorasi kekuatan yang kedua kata sederhana ini dapat miliki.
Ini merupakan sebuah kisah nyata perjalanan dari Dr. James Doty, seorang direktur Center for Compassion and Altruism Research and Education (CCARE) di Standfor University, tempat Dalai Lama menjadi sponsor pendiri pusat penelitian tersebut. Dr. James Doty merupakan seorang ahli bedah saraf. Ia tumbuh besar di padang gurun California dalam kondisi keluarga yang miskin. Ayahnya adalah pemabuk, sedangkan ibunya memiliki depresi kronis dan mengidap stroke. Di saat hidupnya menemui jalan buntu, di usianya yang ke dua belas tahun sebuah pertemuan di toko sulap mengubah hidup Doty sepenuhnya. Ia adalah Ruth, seorang wanita yang mengajarinya serangkaian latihan untuk meredakan penderitaan juga mewujudkan keinginan terbesar Doty. Pertemuan ini memberikan Doty sepintas keunikan hubungan antara otak dan jantung.
More info chat OA Line @fsk5729i atau IG shoppurpleland
Pemesanan dan info harga silakan cek di link di bawah ini
ORDER NOW! CLICK HERE
UPDATE:
Bagi yang penasaran dengan cerita selanjutnya, silakan ikut PRE-ORDER Into the Magic Shop. Sudah dibuka sampai tanggal 14 Juli 2018.
Tebal: menyusul (sekitar 400 halaman)
ISBN: menyusul
Penerbit: Mata Aksara
Penerjemah: December Daisy
Penulis: James R. Doty, MD
Genre: Memoar
Sinopsis:
Hal-hal luar biasa dimulai ketika kita memanfaatkan kekuatan gabungan antara otak dan hati
Terdapat dua hal yang paling mencolok dari buku ini: Belas Kasih dan Kebaikan. Di antara semua hal lainnya, buku ini mengeksplorasi kekuatan yang kedua kata sederhana ini dapat miliki.
Ini merupakan sebuah kisah nyata perjalanan dari Dr. James Doty, seorang direktur Center for Compassion and Altruism Research and Education (CCARE) di Standfor University, tempat Dalai Lama menjadi sponsor pendiri pusat penelitian tersebut. Dr. James Doty merupakan seorang ahli bedah saraf. Ia tumbuh besar di padang gurun California dalam kondisi keluarga yang miskin. Ayahnya adalah pemabuk, sedangkan ibunya memiliki depresi kronis dan mengidap stroke. Di saat hidupnya menemui jalan buntu, di usianya yang ke dua belas tahun sebuah pertemuan di toko sulap mengubah hidup Doty sepenuhnya. Ia adalah Ruth, seorang wanita yang mengajarinya serangkaian latihan untuk meredakan penderitaan juga mewujudkan keinginan terbesar Doty. Pertemuan ini memberikan Doty sepintas keunikan hubungan antara otak dan jantung.
More info chat OA Line @fsk5729i atau IG shoppurpleland
Pemesanan dan info harga silakan cek di link di bawah ini
ORDER NOW! CLICK HERE